Cerita Cacing di Perut



Kali ini gue punya cerita. Cerita ini gue dapet dari bapak. Cerita mengenai kehidupan cacing-cacing di dalam perut kita dan mungkin melilit di leher kita (itu mah kalung). Setelah mendengar cerita ini gue baru tahu ternyata ini yang selama ini kehidupan cacing dalam perut itu begitu kompleks. Parahnya ini terjadi di setiap tubuh manusia.

Berhubung ini cerita mengenai cacing di perut manusia, bagi kalian yang merasa jijik mohon segera meninggalkan blog ini. Bagi kalian juga yang gampang sekali muntah, apalagi kalau nelen linggis, gue gak menyarankan kalian membaca cerita ini. Jika ada sesuatu hal yang terjadi pada kalian seperti mual, merinding, dan jakun naik turun secara cepat gue gak bertanggung jawab.

Oke kita mulai ceritanya. Supaya gampang, karena tokohnya cacing semua, maka tokoh utamanya namanya Caca. Biar mainsteam.
pict

Suatu siang Caca beranjak dari kasur. Cuci muka kemudian keluar dari kamar. Kamar Caca berada di deket usus 12 jari. Diluar kamar Caca udah ditungguin sama temen satu gengnya. Mereka berencana makan siang bareng. Perlahan mereka mengesot menuju dekat lambung. Raut wajah kelaparan terlihat dari wajah gak berbentuk cacing-caing itu. Mereka antusias bersiap menunggu makanan datang. 

“Siap-siap makan opor ayam lagi nih.” Kata Caca.

“Yoi bro, udah beberapa hari ini kita makan enak terus,” Ujar cacing disebelah Caca sambil elus-elus perutnya yang membuncit, pake ekor. “lagi lebaran kali yah.”

“Lebaran? Wah berarti kita bakalan makan opor terus nih, seenggaknya beberapa minggu ke depan.” Caca mencoba memprediksi.

“Kalau tiap hari kayak gini, bisa gendut kita.” Cacing gendut itu menepuk perutnya.

“Lo udah gendut woi, jangan-jangan lo cacingan lagi.” Timpal Caca.

“lah gue kan emang cacing.”

“Iya ada cacing dalam perut cacing. Hiii…”

“Makanya kita harus banyak bersyukur sama Allah, udah ngasih tuan yang makan enak terus.” Kata cacing bertubuh besar dan panjang. Dia paling senior. Kumisnya tebel. Jenggotnya panjang banget. Saking panjangnya kalau ia jalan ngesot, jenggotnya jadi alas. Jadi kalau jalan ada suara kresek kresek. Mirip suara kalau mahasiswa lagi ngacak-ngacak rambut biar terlihat sangar. 

Sambil mengelus jenggotnya ia kembali berkata, “padahal kemarin-kemarin kita lama gak sarapan dan makan siang yah.”

“He-eh tuan kita emang susah dimengerti.” Sahut Caca.

“Gue kira tuan kita udah gak sayang lagi sama kita, kemarin-kemarin berat badan gue sempet turun 0,95 miligram lho.” Ujar cacing gendut.


Namanya juga cacing, hidupnya di perut. Gak ada jendela dan pintu. Terisolasi. Gak lihat dunia luar. Jadi gak tau kalau kemarin-kemarin tuannya lagi puasa Ramadhan. Mereka juga gak tahu kalau beberapa hari yang lalu lebaran. Wajar makannya opor ayam.

Cacing-cacing itu hanya bisa menebak berdasarkan makanan yang sampai dihadapan mereka. Kalau makan opor ayam dan lontong pasti lebaran. Kalau hamburger, berarti mekdi. Kalau dada paha krispi berarti tuannya lagi makan di KFC. Kalau sayur asem gorengan dua esteh berarti tuannya lagi makan di warteg. Kalau makan mie remukan berarti lagi akhir bulan.

Sudah lima hari ini mereka kenyang sama opor ayam dan lontong. Berharap siang ini pun mereka mendapat hal yang sama. Sama kaya manusia, bagi kaum cacing makan ayam gak ada bosennya. Dengan catatan selama ada sambel ABC extra pedas.

Caca melirik jam yang melingkar di ekornya. Udah menunjukan pukul dua siang. Jika ditung-itung udah 2 jam dari waktu makan siang orang normal pada umumnya. Caca and the gank udah siap menanti makanan yang datang. Mereka siap dengan sendok di ekor masing-masing. Tanpa garpu karena ekor mereka cuma satu dan udah ada sendoknya. Tak lupa sekotak tisu tergeletak di samping meja makan yang terbuat dari tutup botol sirup Marjan yang gak sengaja tertelan tuannya pas buka puasa lalu.

Makanan pun datang tepat waktu. Namun mereka kaget bukan kepalang. Makanan yang mereka dapat bukan opor ayam atau lontong, bukan pula, ketupat campur sayur kentang dengan taburan bawang goreng diatasnya lengkap dengan krupuk.

“Hah! Kok kaya gini sih, Ca? Lo bilang kita bakalan makan opor ayam dalam beberapa minggu kedepan.” Cacing gendut tampak paling syok dan gak terima.

“Iya gue juga gak tau, gue aja kaget dapat menu ini.”

“Udah lah terima aja,” cacing berjenggot mencoba ngadem-ngademi. “kita harus bersyukur tuan kita masih mau makan siang jadi kita bisa makan.”

“tapi kan harusnya menunya bukan kayak gini, katanya lebaran? Apa lebarannya udah usai?”

“kalau kita gak makan ini lantas kita mau makan apa. Udah ayo kita makan. Seadanya.” Cacing berjenggot sangat bijaksana.


Pantas saja Caca and the gank kaget, menu yang sampai dihadapan mereka adalah sayur asem dan tempe goreng. Meskipun ada sambel, tapi tetap aja membuat mereka sedikit kecewa. Yang lebih mengejutkan lagi minuman hasil kiriman dari perut adalah es teh. Bukan lagi sirup marjan.

“Yah ini mah makan warteg lagi.” Caca melengos.

“Iya nih balik kayak biasanya. Tuan kita gak pengertian sama kita. Lagi asik-asik makan ayam juga.”

“Jangan-jangan tuan kita udah kembali ke kosan. Bah bisa-bisa kita sering makan kayak gini sama mie remukan lagi.”

“ APAHH?! MIE REMUKAN?” Cacing gendut kaget. “Uhuk…uhuk..” saking kagetnya jadi tersedak.

“Drama banget sih kalian ini. Makanya kalau makan jangan sambil ngomong,” Cacing jenggot kembali menengahi. “Udah disyukuri aja makanan yang ada didepan kita. Tuhan masih sayang sama kita melalui tuan kita. Yang penting kita dapet makan siang. Kalian mau gak makan siang lagi kaya beberapa hari yang lalu?

Caca dan Cacing gendut menggeleng bersamaan. Batang melinjo sayur asem ikut bergoyang karena keluar dari mulut mereka. 

“coba bayangin cacing-cacing diluar sana. Ada yang tinggal di batang pisang jadi makannya itu terus. Ada yang tinggal di dalem tanah makannya tanah terus. Ada yang tinggal di sapi makannya rumput tok, bahkan ada yang sama-sama hidup di perut manusia, tapi manusianya gak pernah makan enak. Makan aja jarang-jarang karena keterbatasan. Kalian gak pernah memikirkan itu kan?”

Caca dan cacing gendut meundukkan kepala. Menyadari kesalahannya.

“Dah makan sana. Selalu berusaha menjadi cacing yang baik dengan selalu bersyukur atas apa yang tuan kita makan.”


Akhirnya mereka makan dengan berat hati. Yah mau gimana lagi gak ada pilihan lain selain memakan makanan yang hadir dari lambung. Cacing-cacing itu mencoba bersikap Qonaah, bersyukur menerima apa yang menjadi rezeki mereka hari ini. Meskipun berat untuk menerima tapi pelan-pelan akhirnya mereka juga menikmati rezeki yang datang dan diperuntukkan untuk mereka.

“coba di perut tuan gue ada mekdi, pasti gue udah cabut dari sini dan makan yang lebih enak.” Umpat Caca.


***
Caca dan dua temannya mewakili ribuan cacing dalam yang hidup di perut. Seperti yang udah gue ceritain diatas, karena mereka hidup dalam perut, mereka jadi gak bisa melihat dunia luar. meskipun udah ada udel, tapi itu gak bisa berfungsi sebagai jendela. bahkan ventilasi sekalipun gak bisa. Mereka gak tahu kalau sebenarnya ini masih lebaran. Tuannya Caca aja lagi bosen makan opor dan pengin menu lain. Sayur asem, tempe goreng, dan sambel menjadi pilihan utama. Tak lupa es teh sebagai penghilang rasa seret.

Caca juga gak tau kalau tuannya lagi gak makan di warung. Tuannya Caca memasak menu itu bareng-bareng keluarganya. Si Ibu memasak sayur asem, Kakak menggoreng tempe, Bapak menguleg sambel, dan si tuannya Caca membikin es teh kemudian menggelar tikar di deket dapur agak mepet pintu keluar. Lesehan ditambah angin sepoi-sepoi yang perlahan masuk ke ruangan, persis kayak lagi makan di warung atau saung pinggir sawah. Pantesan Caca mengira tuannya makan di warung. 

Keluarga tuannya Caca bekerja sama dan berusaha menyetting supaya makan siang kali ini suasananya kayak di warung. Kekompakan, kerjasama keluarga tuannya caca patut diacungi jempol. Setelah semua matang mereka kemudian makan dengan lahap. Obrolan ringan dan candaan turut muncul sebagai bumbu yang tidak terlihat. Membuat makan siang keluarga tuannya Caca terasa nikmat. Bukan hanya sekedar enak dan sedap, tetapi nikmat. Nikmat gak harus mahal.

Kejadian kaya gini nih yang sebenarnya terjadi. Sementara Caca and the gank tidak mengetahuinya. Mereka hanya tau kalau sayur asem tempe goreng es teh itu yang sampai di depan Caca, maka tuannya lagi makan di warung. Caca gak tahu kalau sebenarnya tuannya hanya makan di rumah. Caca juga gak tahu kalau tuannya baru setahun punya kulkas jadi bisa bikin es teh sendiri. Dan Caca juga gak tahu kalau tuannya itu GUE. Huh dasar gak tau diri. Gue minum conbantrin baru tau rasa lu, Ca!

Tamat


Sekian cerita kali ini. yang jelek jangan diambil. Yang bagus bolehlah diambil sebagai pelajaran. itu pun kalau ada.



NB. Selamat Idul Fitri 1435 H mohon maaf lahir dan batin. Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal ya karim. Semoga kita semua dipertemukan dengan Ramadhan dan Idul Fitri tahun depan dalam keadaan sehat dan berezeki baik.
Cerita Cacing di Perut Reviewed by Tomi Azami on 23:59 Rating: 5

2 comments:

  1. kereenn..
    bisa bahasa cacing :)) cacing berdialog tentang makanan dan cacing juga punya perasa rasa syukur :D. keren cacingnya, titip salam yah buat cacingnya XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya nih, habis ikutan les bahasa cacing. cacingnya kan sering nonton Mario Teguh jadi pandai bersyukur deh.
      haha oke. ntar pas makan nasi rames tak selipin kertas berisi salam dari kamu.

      Delete

mau main balik gimana wong alamatmu gak ada

All Rights Reserved by Tomi Azami © 2014 - 2015
Powered By Blogger, Designed by MasalahTechno

Contact Form

Name

Email *

Message *

Tomi Azami. Powered by Blogger.