BELANG HARIMAU
![]() |
“Hai anakku, kemarilah.” Kata seekor harimau pada anaknya. Dia lagi sakarotul maut gara-gara kakinya masuk jebakan pemburu. Rimbun pepohonan membuat sinar matahari tidak menyorot ke segala penjuru, membuat jebakan terlihat samar.
“Ayah… bertahanlah.” Kata anak harimau. Kantung matanya mulai tak bisa menampung air mata.
Anak harimau
berusaha menggergaji rantai yang menjerat kaki ayahnya. Rantai itu terurai di tanah
yang tersamar oleh dedaunan yang berserakan di hutan. Panjang rantai itu kira-kira
5 meter dengan pangkal melilit di pohon jati. Sementara ujung rantai berbentuk
kaya penjepit jemuran tapi penuh dengan gerigi tajam.
“Sudahlah, nak.”
Bapak harimau masih terbaring lemah karena kakinya lecet dan penuh darah. “Percuma
saja. Geraji itu gak pernah dipakai sejak kamu SMA. Saat itu buat bikin ceper
motor kamu, sih.”
Namun anak harimau
gak nyerah. Dia masih terus menggergaji rantai yang tergeletak di tanah.
Harapannya setelah rantai putus dia akan segera membawa ayahnya ke puskesmas
terdekat. Dengan bantuan dokter pasti bisa mengobati luka dan mencegah infeksi
di kaki ayahnya.
“Kemari sebentar,
ayah mau ngomong… uhuk uhuk.” Pak harimau terbatuk-batuk.
Anak harimau
mendekat ke ayahnya. Didorong rasa penasaran juga kenapa yang luka kaki tapi
ayahnya batuk-batuk.
“Tolong ambilkan...uhuk…minum
...uhuk...uhuk. Dari tadi ayah manggil kamu tapi kamu gak menggubris. Nyangkut,
nih.” ternyata Pak harimau tersedak.
Anak harimau
dengan segara mengambil segelas minuman dari dispenser kemudian mendekatkan ke
mulut ayahnya.
“bismillah dulu,
Yah. Ben berkah.”
Setelah habis
satu gelas penuh Pak Harimau tampak mengurut dada. Terlihat lega karena tersedaknya
hilang.
“Sini duduk
lebih dekat, ayah mau ngomong.” Kata Pak Harimau dengan mata menatap tajam dan
kumis lurus horizontal.
“Ada apa, Yah.”
Anak harimau menarik kursi untuk dapat duduk lebih dekat dengan ayahnya.
“Kamu lihat kan
kaki ayah itu?”
“Tercapit rantai
jebakan pemburu keparat itu, Yah.” Jawab anak macan.
“Bukan, kuku
ayah sudah panjang-panjang. Lupa menikyur pedikyur.”
Anak macan
langsung menenggak betadin.
“Kayaknya Ayah
udah gak kuat lagi.” Ucap Pak Harimau.
“Ayah gak boleh
ngomong kayak gitu. Ayah harus kuat.” Anak macan mulai menangis.
“Dengerin pesan
ayah. Pemburu itu sebenarnya mengincar belang ayah. Ayah gak mau belang ayah
yang aduhai dan warna yang bagus ini jatuh ke tangan pemburu.” Kata Pak Harimau
sambil menunjuk belang di tubuhnya.
“Maksud ayah?”
anak macan masih buffering.
“Ayah ingin
menyerahkan belang ini kepadamu. Di belakang tengkuk ayah ada resleting kecil.
Kamu tarik aja mengikuti punggung ayah sampai ke ekor.”
Anak harimau
mengangguk dan menuruti perintah ayahnya. 1 jam kemudian belang terlepas dari
tubuh Pak Harimau. Agak lama soalnya reseltingnya macet. Maklum udah lama
karatan. Itupun ngabisin oli bekas setengah botol.
Seketika
terpampanglah tubuh harimau tua yang tak ada belang. Keriput hampir menyeluruh
di tubuhnya. Otot-otot tua tampak menonjol di beberapa bagian. Terlihat sepert
harimau trondol dan sama sekali gak kelihatan sangar.
“ayah mengapa
jadi seperti ini?” tanya anak harimau. “kan udah aku bilang sebelum bobo tu
pake skincare 7 tahap yang aku beli di toko oren.”
“duh, ayah dah
ngantuk. Habis solat isya tuh enaknya langsung tiduran, eh malah ketiduran. Dah
lah. Tolong kamu jaga dan rawat baik-baik belang ayah. Suatu saat pasti berguna
bagi kehidupanmu.”
Setelah berkata
begitu macan tua itu merem kemudian menghembuskan nafas terakhir dengan raut
wajah damai.
*
Itulah asal usul
ungkapan harimau mati meninggalkan belang.
Ada lagi ungkapan
gajah mati meninggalkan gading.
Untuk asal usul
ungkapan yang kedua, konon sih ceritanya begini.
Suatu hari di sudut
lain hutan yang sama dengan harimau, ada gajah yang juga lagi sakarotul maut
karena obesitas. Masa mudanya tuh tiap hari makan junk food gitu, minumnya juga
soda. Gak selalu gembira sih, kadang soda susu. Dah gitu males olahraga lagi.
Nah pas
sakarotul mau itu, dengan sisa tenaga yang ada dia memutar gading menggunakan
belalai layaknya mencopot mur baut dari tempatnya. Kemudian berpesan kepada
anaknya buat menjaga gadingnya baik-baik.
Dibikin cepet
aja ya asal-usulnya
*
Tahun 2015 aku bikin draft cerita di atas. Udah lama bangat ya sekarang 2021. Sampe lupa ini cerita mau dibawa ke mana sih alurnya. Aku coba flashback pikiran, nginget-inget lagi. Aku mikir lama banget kaya penanganan Covid 19 di Indonesia.
Berhubung masih gak inget, yaudah mari kita teruskan dengan yang ada di kepalaku sekarang. Yang belum ya belum Yang sudah ya sudah, lupain aja. Kecuali kasus korupsi ya, kudu diinget terus.
*
Kembali ke
ungkapan yang kita pelajari sejak SD. Harimau mati meninggalkan belang. Gajah
mati meninggalkan gading. Terus manusia mati meninggalkan apa?
harta setumpuk?
Atau malah
hutang yang menggunung?
Menurutku sih
manusia mati meninggalkan kenangan. Entah itu tingkah laku, amal, entah itu kebaikan
sampai hal buruk.
Contoh:
Dulu pas kita
sekolah pasti ada dong guru yang galak. Pas aku juga ada tuh, apalagi Ketika sekolah
madrasah (sekolah arab) bahkan ada yang suka mukulin pake rotan. Aku pun sering
disetrap (dihukum) suruh berdiri depan kelas gara-gara gak bisa hafalan. Entah
itu hafalan bacaan solat, surat pendek, nyampe kitab-kitab legenda seperti Tajwid,
Pasholatan, dan Sa’bul iman.
Atau kalau kita
seumuran, pas kita SD pasti ada guru yang suka bawa penggaris kayu panjang
terus ditaruh di atas pundak. Persis kayak Yoko pas bawa pedang. Anak 90’an
pasti kenal siapa itu Yoko. Pendekar yang tangannya satu dan naiknya elang. Anjirlah pas itu aku mendadak pengin memelihara
elang. Plus Bibi Lung. *eh
Ada yang pernah
mengalami kejadian serupa?
Guru yang suka
bawa penggaris panjang biasanya suka memeriksa kondisi kuku tangan kita. Kalau
panjang dan kotor pasti tangan kita langsung digetok sambil bilang, “Nanti dipotong,
kalau besok bapak lihat kukumu masih panjang, bapak akan potong pake samurai.”
Saat itu kita
hanya bisa mengumpat dan menaruh rasa dendam sama si guru. Kenapa sampai begitu
sih? Gak hafal aja nyampe dihukum suruh berdiri dan gak boleh duduk sampai bisa
menghafal. Meskipun itu sampai pelajaran usai.
Kita juga sering
sewot sama guru yang suka razia kuku panjang. Saat itu pertanyaan besar kita,
apa hubungannya belajar di kelas dengan kuku panjang? Toh masih bisa nulis?
belajar kan pake otak bukan pake kuku?
Sampai kita
lulus kita masih ingat apa yang si guru lakukan. Bahkan kita sering menyematkan
gelar guru killer pada beliau. Kemudian menceritakan kekejamannya pada
adik kelas supaya mereka harus hati-hati pada guru tersebut.
Perbuatan-perbuatan
kaya kejadian itu masih aja terus melekat. Menurutku itusih yang namanya
kenangan.
Tapi,
teman-teman, yang kurasakan tuh setelah gede kenangan buruk itu berubah menjadi
kenangan baik. Setidaknya itu yang aku rasakan.
Maksudnya?
Cobalah kita
mengenang lebih dalam sambil berpikir apa sih maksud guru melakukan itu kepada
kita?
Pernah kita
berpikir, coba kalau guru kita gak melakukan “perbuatan tidak menyenangkan” itu
pada kita, pasti kita akan jadi semrawut, amburadul, jorok, dan gak bisa solat.
Lengkap banget kriteria menuju sampah masyarakat dan ditunggu malaikat Malik.
Coba kalau saat
itu aku gak dihukum suruh berdiri depan kelas sampai hafal, pasti saat ini aku
gak hafal bacaan solat.
Coba kalau saat
itu tangan aku gak dipukul pake penggaris, pasti saat ini aku tumbuh jadi
manusia yang cuek terhadap kebersihan kuku. Kuku dibiarin panjang dan hitam,
penuh dengan kuman dan bakteri, terus dipake buat makan. Akibatnya, penyakit
dengan senang hati menghampiri.
Yap, itulah
maksud sebenarnya. Guru kita ingin kita menjadi pribadi yang baik, sehat
jasmani, dan bisa solat.
Bagi aku pribadi, setiap aku melaksanakan apa yang bapak/ibu guru ajarkan, aku sering tuh jadi ikut mengenang apa yang mereka lakukan terhadap aku. Entah itu reward atau punishment. Misal ketika aku lagi potongin kuku, mendadak teringat pernah dipukul pelan pakai penggaris. Atau ketika lagi wudhu, kadang melintas ingatan tentang bu guru suka ngingetin dan ngebantu untuk membasuh siku yang kadang kelupaan.
Kalau lagi muncul potongan masa kecil begitu, terus dalam hati bilang makasih banget bapak/ibu guru. Coba kalau dulu bapak/ibu guru gak ngelakuin itu, pasti aku gak akan bisa seperti sekarang ini. Kenangan yang kaya gini akan selalu melekat meskipun beberapa dari mereka udah dipanggil sama Tuhan.
Al-Fatihah buat
guru-guru kita.
Harimau mati
meninggalkan belang. Gajah mati meninggakan gading. Dan manusia mati
meninggalkan kenangan. Karena itu gak mau dong kelak kita dikenang dengan hal
buruk saja?
Btw, Pas mau cari
gambar ilustrasi di google, kan aku ketik ya “harimau mati meninggalkan..” baru
sampai situ eh ada saran muncul, setelah tak klik muncul yang paling atas “harimau
mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati
meninggalkan nama. Artinya setiap orang yang sudah meninggal pasti akan
dikenang sesuai dengan perbuatannya di dunia.” Dari Badan Bahasa Kemdikbud.
Dari tadi aku
ngapain coba mikir pesan moralnya. Hhhhh~

No comments:
mau main balik gimana wong alamatmu gak ada