PADA SEBUAH MATA KULIAH


Kadang memang aku tuh harus ke-trigger dulu agar terpacu melakukan sesuatu. Misalnya saat diberi tugas, biar aku ada dorongan buat ngerjain tuh seringkali aku udah tanya “terakhir kapan, nggih pak/bu?” tak lupa disisipkan emot sejuta umat 🙏🏼. Kalau masih lama deadline-nya kan bisa tuh nonton Chibi Maruko Chan dulu.


Gak harus deadline sih, ya minimal bertemu dengan orang-orang bisa bikin aku terpancing. Kaya yang terjadi beberapa waktu lalu. Namanya Okta dan Indah. Kami dipertemukan pada mata kuliah yang sama, Literasi Lintas Mata Pelajaran. Mata kuliah yang bertujuan agar mahasiswa dapat memahami apa, mengapa, dan bagaimana literasi lintas mata pelajaran di jenjang sekolah menengah pertama. Terdengar keren karena mata kuliah ini dibikin pemerintah biar tingkat literasi di sekolah-sekolah meningkat. Karena katanya tingkat literasi orang-orang Indonesia rendah dibanding negara lain. Setidaknya itu yang aku baca.


Tapi kayane bener deh, beberapa kali baca ada orang jualan di FJB, deskripsinya lengkap tuh eh kolom komentarnya tanya “harganya berapa, kak?” “ready gak gan?” mbok kalau tanya yang dideskripsi tuh perlu penjelasan gitu lho. Misalnya “kak itu bahan cotton itu apanya bahan obrolan ya? Sama-sama cepet habis kah?”


Salah satu topik pada mata kuliah Literasi Lintas Mata Pelajaran yang harus kami pelajari adalah Pengembangan Kecakapan Literasi Diri. Pada topik ini mahasiswa diminta mengindentifikasi aspek dan bentuk pengembangan literasi diri serta menyusun narasi literasi dalam bentuk story telling. Intinya mah bikin cerita perjalanan literasi dari dulu sampai sekarang biar bisa buat jadi bekal ke depannya. Setelah menyusun perjalanan narasi literasi, mahasiswa atau perwakilan mahasiswa menceritakan perjalanan literasinya di depan temen-temen yang lain.


Okta dan Indah dengan malu-malu maju ke depan kelas. Sebetulnya yang maju tiga orang sih. Okta, Indah, dan Rifo. Okta dan Indah menceritakan perjalanan literaisnya, Rifo bertugas jadi operator PPT. Aku mah diem aja di pojokan.


“Perjalanan literasi saya dimulai saat kelas 5 SD.” Okta membuka presentasi di siang yang panas di luar tapi adem di dalem karena kelas ada AC. Kalau adem di luar panas di dalam, minum adem sari.


Okta bercerita kalau dia suka baca sejak kecil. Seiring bertambahnya usia, makin banyak buku yang dia baca. Gak cuma itu, dia pun mulai belajar nulis. Dia malah ngirim tulisan di majalah anak. Tulisannya dimuat dan dapat Rp. 25.000. Buset kelas 6 SD udah dapat duit segitu dari sesuatu yang ia kerjakan sendiri itu keren sih.

“Saat itu Saking polosnya saya, ketika dikasih hadiah ‘ini sedikit buat jajan ya’ beneran saya gunakan buat jajan.” Cerita Okta.

Ya betul dong, masa iya kepikiran buat beli saham. Ya lagian saham mana yang harganya 25ribu ya, Okta.


Fase SMP dan SMA Okta juga rutin mengisi mading. Kebiasaan berlanjut saat dia kuliah di Semarang. Dia rajin ikut bedah buku. Tempat nongkrong dia ada di Perpusda dan perpusnya BI.

Wah hampir mirip aku, yaa meskipun aku gak sesering dia, paling gak aku pernah duduk baca seharian di perpusda. Batinku sambil memainkan pulpen.

“Kadang kalau gabut, saya juga ke gramed baca buku. Biasanya di gramed ada acara bedah buku. Nah saya mengikuti acara tersebut.” Lanjut Okta.


Wah sama. Aku melihat kesamaanku dengannnya. Rutinitas baca buku dan nulis yang terkubur kini mulai nongol lagi.

“Saya mulai latihan nulis di blog. Dan coba-coba bikin tulisan dan mengirimkannya ke media dan beberapa penerbit. Ditolak mah sering ya, tapi saya coba lagi coba lagi.”

Mendengar itu aku tergelitik. Lah aku juga punya blog ya, apa kabar blognya aku ya. Nanti kepo ke blognya Okta ah. Seketika itu aku buka blogku sendiri.


“sampai alhamdulullah karya saya dibukukan bersama salah satu idola saya. Susilo Ananta Toer”


Duarr!! Nanii?! Wah~ salah denger apa yah. Gara-gara langsung gak focus karena aku buka blogku.

“bagi temen-temen yang belum tau Susilo Ananta Toer, beliau adalah adiknya Pramudya Ananta Toer. Yang nulis Bumi Manusia itu.” Lanjut Okta


Parah ini mah. Kita gak lagi sama. Gak ada obat. Aku terkejut tapi harus tetap slay. Gila karyanya jadi buku bareng Pak Susilo Ananta Toer. Gak, gak, gak, kita gak sama, Okta. Level kita berbeda. Sorry, Ta, aku sempet ngaku-ngaku kalau kita sama.


“Setelah antologi itu terbit, beberapa kali saya diundang untuk bedah buku di beberapa daerah kaya di Surakarta, Semarang, dll. Di beberapa sekolah juga pernah diundang untuk berbagi tips menulis dan tips mengirimkan karya di media massa atau penerbit.”

Wah gak jadi, ini mah udah jauh.


“Saat ini alhamdulillah saya sudah punya 4 buku.”


Heegkk apa ini, ada yang tercekat di tenggorokanku. Ternyata keselek permen.

Ingin aku bertepuk tangan pas tau pencapaian Okta tapi takut berisik. Eh tapi ada yang mengawali tepuk tangan, yaudah deh aku ikut-ikutan.


Okta menutup paparannya dengan sebuah kalimat yang cihuy, “Ini mah berbagi ya teman-teman bukan berarti saya lebih dari teman-teman.”

“iya gak papa, kan emang tagihan tugasnya mahasiswa disuruh berbagai pengalaman perjalanan literasinya.” Ada tuh yang nyahut gitu. Aku gak ngeh karena masih mencoba menelan rasa iri kagum pada pencapaiannya.

*

Giliran Indah bercerita

yang lagi berdiri: Okta, Indah, Rifonita. yang lagi duduk nga tau siapa ngalangin aja hhh


“Saya tuh sebenarnya seneng nulis karena malas berbicara.”


Kalimat pembuka yang dahsyat. Kok bisa kepikiran kalimat pembuka kaya gitu. Udah gitu nada bicaranya juga lembut tidak menggebu-gebu. Ada memang beberapa orang yang kaya gitu. Salah satunya adalah aku beberapa tahun lalu. Tapi beda ding, kalau aku mah lebih ke malu ngomong. Malu sama males kan beda ya. Namun sekarang aku udah gak kaya gitu kok. Udah gak seneng nulis karena malas bicara lagi kok. Sekarang malas nulis dan malas bicara. Huhu.


“Pengalaman literasi saya, hampir sama kaya Okta, pas kecil juga sering baca-baca cerita kaya Bona dan Rong-rong.” Bagi yang belum tahu, Bona dan Rong-rong itu Gajah salah satu segmen di majalah Bobo. Majalah anak-anak legendaris yang menemani generasi kami bertumbuh.


Bona itu gajah pink yang belalainya Panjang terus digulung kaya selang buat nyuci motor. Rong-rong adalah temennya Bona, seekor kucing gak rasnya gak jelas. Dulu aku menamain mereka Bona dan long-long. Sedangkan sepupuku manggilnya Bona dan Yong-Yong. Lalu kami berdebat yang bener Long-Long atau Yong-Yong.


Bona dan Rong-rong ini gedenya sama, masih menjadi misteri apakah gajahnya yang minimalis atau kucingnya raksasa.

Lah kok malah nyeritain Bona dan Rong-Rong. Dah lah~


Indah melanjutkan cerita kalau dia punya semacam diari yang tidak pernah dipublikasikan. Diari itu menjadi tempat dia mencurahkan kesehariannya. Tanpa disadari itu juga melatih kebiasaan menulis dia. Indah lambat laut memberanikan diri buat mengisi di mading gitu. Terus apa lagi yha lupa, singkat cerita karena aku terkesima pada perjalanan literasinya, Indah bercerita kalau dia diminta menulis skrip buat film pendek saat SMA.


“belum apa-apa udah levelnya di atas aku aja.” Batinku lagi. Indah jaman SMA udah ditawari nulis skrip film pendek, aku jaman SMA ditawari cosplay The Changcuterz jaman Tarix Jabrix karena aku pake motor Yamaha Alpha tahun 94.


Saat kuliah di Semarang kegemaran membaca dan menulis Indah semakin menjadi-jadi. Kos dia katanya deket sama Gramedia Pandanaran.


“saya rutin ke gramed buat baca-baca buku, kalau ada acara bedah buku ya ikut. Atau hanya sekedar lihat-lihat koleksi terbaru.” Wah aku melihat diriku beberapa tahun lalu pada dirinya. Bukannya nyimak malah flashback.


Hmm pikiranku langsung terbang melihat kembali memori beberapa tahun yang lalu saat kuliah di Semarang. Meski jarak kosku dengan gramed kurang lebih menempuh setengah jam pake motor, aku beberapa kali sowan ke sono. Beberapa kali malah pada suatu akhir pekan aku menghabiskan seharian di Gramedia. Iya karena gak ada yang diapelin juga sih.


Di Gramedia Pandanaran juga aku melihat beberapa penulis melakukan roadshow atau bedah buku di situ. Raditya Dika, Bernard Batubara, Derra adalah beberapa penulis yang pernah kulihat langsung di sana. Kalau boleh mellow mah, Gramedia Pandanaran jadi salah satu tempatku kabur dari kepusingan tugas-tugas kuliah yang saat itu memusingkan.


Saat itu sih memusingkan ya. Tapi kalau lihat pakai sudut pandang sekarang mah, tugas kuliah enteng yak dibanding kerjaan yang menumpuk dan deadline yang kurang manusiawi.


Gramedia Pandanaran menjadi saksi bisu di mana aku juga sering menghabiskan waktu sambil cari buku yang udah gak ada plastiknya. Pas ada buku yang bagus tapi masih plastikan, secara sembunyi-sembunyi tak buka plastiknya. Takut ketahuan petugasnya terus digigit. Setelah bukunya aku telanjangi, kubaca sambil berdiri. Kalau capek ya duduk. Pernah ditegur dilarang duduk yaudah berdiri lagi. Gituuu terus.


Btw, Kalau Okta dan Indah punya rutinitas yang sama kaya aku, lah kok dulu gak ketemu ya?


Ya gak gitu cara mainnya dong gaayys. Emangnya scene FTV yang sebenarnya saling bertemu tapi keduanya gak ngeh. Dalam frame terlihat rak buku, lalu sisi yang satu ada dia sedang jalan ke arah kanan. Satunya aku malah ndlosor di lantai.


Atau saat aku dan dia tiba-tiba gak sengaja memegang buku yang sama, lalu kita bertatap-tatapan, lalu ada backsound D’Bagindas – Empat Mata.

Empaat mata bicaraaa padamuuu tukk ungkapkan rasaaa di hatikuuu

Gak gitu hei, kurangi halumu.


Tapi iya sih, kalau diingat-ingat lagi nih, pas aku sering melakukan ritual ke gramed mah motivasinya ya kabur aja. Baca-baca, gak cari…ehem…gebetan. Hmm iya itu pembelaan dari orang yang pemalu yang gak laku di kampus sih. Lebih tepatnya tidak mau laku. [[emot kacamata]]

*

Balik ke presentasi Indah, “saya belajar nulis melalui blog, itu sih dulu ya, sekarang berganti medium ke IG dan WA.”

Mendengar gitu jiwa FBI ku menggebu-gebu. Kaya gimana tulisan-tulisannya ya.

Ada yang nyeletuk “iya caption-caption dan postingannya kata-katanya bagus.”


Tambah menggebu-gebulah diriku, Hmm cocok nih bikin konten kaya “mbak…mbak…kata-kata hari ini.” Lalu ditutup dengan reff lagu Dialog Senja-Lara. ~Menghapuss tinta yang pernah kau lukis di kanvas hatikuuuuuu~


“sampai kemudian saya ditawari mengisi rubrik di Koran Tribun Jateng.” Sambung Indah.


Wah ini sih terulang lagi kaya pas Okta. Gak jadi aku melihat diriku padanya. Aku ngirim ke koran aja ditolak (dan sayangnya kapok wkwk) lah Indah sampai ditawari ngisi rubrik.


“tapi saya saat itu belum pede. Hehe. Takut juga buat menerima tawaran itu.” Lanjut Indah


“wah sayang banget ya,” batinku. Kok bisa melewatkan kesempatan emas gitu, Ndah. Tapi ya sepenuhnya nyalahin sih, mungkin kalau aku ada di posisi Indah juga gak pede. Mungkin.


Sesi pemaparan ditutup lalu dilanjut dengan sesi diskusi. Temen-temen banyak yang mengajukan pertanyaan seperti tips menulis, tips doyan baca, dan sebagainya. Okta dan Indah menjawab dengan rangkaian tips yang mereka dapat semasa rajin ikut acara-acara bedah buku dan ikut komunitas.

Oiya, Okta dan Indah ini rajin ikut komunitas baca. Gak kaya aku sih, yang malah ikut komunitas desain pake word art.


Ada temen mahasiswa lain yang bertanya cara biar semangat nulis. Ini aku lupa yang bilang Okta atau Indah yang pakai quotes ‘menulis untuk keabadian’ dan ‘apa artinya patah hati kalau tidak jadi royalti’. Werwerwer~ quotes familier pas aku rajin-rajinnya belajar nulis. Mereka membuka kunci ingatan lagi. Setidaknya quotes kaya tadi sempet jadi motivasiku juga beberapa tahun lalu.

*

Ada dua kesamaan antara Okta dan Indah. Mereka menggunakan blog buat sarana menumpahkan isi pikiran mereka. Bisa nih jadi lahan belajarku lagi. Aku sudah bertekad untuk menanyakan blog mereka apa, tapi berhubung aku cemen di kelas, jadinya aku nanya setelah kelas berakhir.


Pada hari berikutnya aku ketemu Okta dan Indah di kesempatan yang berbeda. Aku ngobrol beberapa saat dengan mereka dan meminta izin untuk ikut membaca tulisan-tulisannya.


Saat Okta memberikan link blognya (linknya di sini) aku segera membacanya, postingan terakhir tahun 2019. Wah kayaknya ini second blog nih

“malu tau, ada beberapa yang tak hapus,” kata Okta.

“lah kenapa?” aku heran.

“selesai presentasi kemarin kan banyak nanya blognya aku kaya gini, nanti pada baca.”

“lah udah nerbitin buku sendiri kenapa masih malu?” menurutku itu aneh, sama kaya atlet lari tapi malu dilihatin jalan oleh orang. Karena aku tau, nulis buku tuh gak gampang dan ada beberapa kali revisi bareng editor. Beda dengan nulis blog kan kita bebas mau asal post atau kita baca ulang dulu sebelum diposting.

“Indah tak ajak bikin buku bareng gak mau.” Tutur okta.

“Kamu gak ngajak saya bikin buku? Kan channel ke penerbit banyak tuh.” Aku ngarep tuh.

“hmm yaaa… ayoo, Kak… mau nulis apa.” Ada jeda beberapa detik di tiap kata yang keluar, kayaknya dia ragu deh ngajak aku. Mungkin Okta pikir ini orang kalau ginjalnya mah bisa laku nih, tapi kalau tulisannya, nanti dulu deh, suruh dia rutin nulis di blog lagi aja. Tapi mau nyuruh juga mungkin dia gak enak sama aku. Aku memang sok tau dalam membaca mimik wajah.


Berbeda dengan Okta, Indah lebih terbuka. Dengan senang hati dia memberikan blognya (ini linknya) Dia juga ingin membaca blogku.


“ayo, mas, nulis lagi, ditunggu tulisan terbarunya, masa terakhir tulisan udah setahun yang lalu.” Kata Indah selepas membaca blogku. Matanya berbinar kaya anime. Tangannya mengepal di atas meja. Udah kaya mau tinju


Lah bener juga. Postingan terakhirku udah setahun lalu. Mana semangat yang katanya sepekan sekali ada post baru? Hemm hemm. “Dulu kamu pernah ada di fase itu lho, Tom.” Gugatku pada diriku. Memang sih dulu pernah, beberapa tahun lalu saat masih rajin blogwalking juga. Lalu mundur jadi dua pekan sekali, sebulan sekali, beberapa bulan sekali, dan jadi setahun sekali. Terlihat konsistensi yang hilang karena terbentur pekerjaan. Gak sih, terbentur males aja. Tapi ya gimana ya, ketika pekerjaan menumpuk dan ada waktu senggang, aku memilih baca Webtoon, nonton film, marathon One Piece, main PES daripada mindah draft di notes HP ke laptop.


Alhasil ya stagnan kaya dulu, draft Cuma numpuk. Malah akhir akhir ini draftnya makin dikit.


Memang mungkin circle atau lingkaran di sekitar itu berpengaruh ya. Mungkin seharusnya aku gak membiarkan diriku hanya dikelilingi lingkaran pekerjaan yang menuntut cepat selesai. Sebaiknya aku mendekatkan diri pada lingkaran pertemanan yang membuat aku rajin baca dan nyoba lagi nulis blog. Okta dan Indah bisa jadi pintu masuknya.


Semoga, iya.


sumber gambar: pinterest

PADA SEBUAH MATA KULIAH Reviewed by Tomi Azami on 22:11 Rating: 5

1 comment:

  1. Waaah Tom, ternyata masih ada tanda2 kehidupan disini meskipun samar2 ya haha
    Btw, saluut lah Tom.. tulisanmu apik, nggawe ngguyu pas tak waca. Punchline2-nya masih bertebaran dan delivery-nya sukses.

    Ayo, Tom, rajin nulis.... aku pembaca setia blogmu loh, sesekali aku rela ngetik alamat blogmu ning google demi mengunjungi blogmu.
    Siji maneh, eman2 karo domain dotcom-mu misal ora diisi tulisan😄

    ReplyDelete

mau main balik gimana wong alamatmu gak ada

All Rights Reserved by Tomi Azami © 2014 - 2015
Powered By Blogger, Designed by MasalahTechno

Contact Form

Name

Email *

Message *

Tomi Azami. Powered by Blogger.