Kompromi
Hidup adalah potongan-potongan kompromi
Ah sial akhirnya aku berada pada kesimpulan ini. Mendapatkan jawaban
dari beragam pertanyaan yang terlintas beberapa tahun lalu. Ketika aku masih anak-anak,
lalu remaja, dan tumbuh dewasa awal seperti sekarang. Pertanyaan-pertanyaan
yang terlontar pada masa lalu lambat laun menemui jawabannya. Sendiri. tanpa
harus dicari.
Bahwa kompromi akan terus mengikis idealisme.
Dulu aku mempertanyakan kenapa kok begitu? Kenapa gak begini
aja, kan enak. Jawabannya: ya karena yang aku pertanyaan itu kondisi “ideal”.
Banyak hal lah, mulai dari politik seperti kenapa orang-orang
yang dulu memperjuangkan reformasi pemberantasan KKN tetapi ketika sudah dalam
lingkar pemerintahan malah terkesan diam saja melihat praktik itu. Bahkan ada
yang malah ikutan KKN.
Kenapa air di gunung tidak diolah pemerintah saja? Kenapa orang-orang
pegunungan lebih memilih menjual tanahnya kepada orang yang bahkan gak pernah
mereka lihat daripada menyewakannya?
Kenapa sama-sama mencuri yang satu digebuki massa tapi yang
lain malah dadah-dadah ke kamera?
Kenapa dia melanggar boleh, sedangkan aku dimarahi sampai
dihukum?
Sampai pada pertanyaan sederhana kepada bapak ibu saat aku
kecil, kenapa dulu aku gak les music? kan enak bisa kaya temanku yang mewakili
kabupaten.
kenapa dulu aku gak dibelikan PS saja seperti teman saya
yang bapaknya dokter? Kan enak ibu jadi gak marah-marah nyari aku ketika sudah hampir
magrib aku masih di tempat rental menunggu giliran.
Kenapa keluarga kita gak seperti keluarga pak lurah?
Dan jawaban itu muncul satu persatu. Kompromi dengan keadaan.
Pertanyaan besar pun jadi terpikirkan, kenapa aku tanya hal-hal seperti itu ke
bapak ibu? Pasti mereka bingung menjelaskan kondisi ekonomi keluarga. bingung
menjelaskan kondisi pekerjaan bapak ibu yang berbeda dari dokter, pegawai BUMN,
atau Pak Lurah. Bingung menjelaskan skala prioritas bahwa menabung dan
investasi lebih penting dari benda-benda yang bikin aku merengek. Bingung menjelaskan
itu semua dengan bahasa yang bisa diterima anak usia 8 tahunan.
Aku jadi berkesimpulan sekarang, sebenarnya ada beberapa
bagian yang bapak ibu pun berkompromi denganku saat itu. Kaya misal aku meminta
Tamiya yang Sonic Saber punya Retsu dengan dynamo setan. Namun akhirnya aku dibelikan
Tamiya yang tidak ada karakternya di TV. Atau ada tapi sekilas. Warnanya coklat,
tengahnya agak sedikit mengembung. Hampir mirip Broken G versi kearifan local. Dinamonya
pun bukan setan. “yang penting kan Tamiya. Sama aja, warnanya aja yang beda.” Kata
bapak kala itu
Belasan tahun lalu, bapak ibu menghadapi deretan
pertanyaanku dengan jawaban yang menyesuaikan usiaku. Saat itu aku juga gak
ngerti maksud bapak. Kini, tanpa bapak jawab, segala pertanyaan yang aku lontarkan
saat kecil terjawab satu persatu. Tanpa bapak kasih tau, aku sudah tahu apa
jawabannya.
Mengerikan bukan? Akhirnya aku melakukan apa yang aku cibir,
apa yang aku protes. Kita mengompromikan sesuatu yang kita anggap ideal.
Lambat laun kita akan memaklumi. Kita akan berkata, “ya udah
lah ya mau gimana lagi.” Sambil menghela napas panjang dan gurat senyum getir
yang dipaksakan.
“gak papa deh, yang penting aku masih sehat.”
“kalau gak bisa kaya gitu, kaya gini juga gak apa.”
Dan masih banyak yang perlu kita “gak papa- in”
Mungkin itu berlaku pada hal-hal lain. Pekerjaan, relationship baik pertemanan atau kriteria pasangan. Seberapa sering kita "sakit" karena keadaan lalu bergumam sendiri, "gak papa deh."
Ketika aku berada di posisi menjelaskan kalau hidup penuh
kompromi kepada manusia-manusia lain itu hal yang cukup menyebalkan juga. Dalam
hati berkata, “kamu bilang gitu, kamu protes gitu karena umurmu masih segini,
nanti beberapa tahun lagi kamu akan mengerti.” Terkadang ada beberapa persoalan
yang kita tidak harus tau jawabnnya saat itu juga. Beberapa jawaban akan muncul
dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.
Sial. Tepat setelah tanda titik paragraf sebelum ini, bibirku
tersungging. Getir. Kalimat itu pernah kudengar dari mulut seseorang yang
sangat aku hormati dan kepadanya seumur hidup aku akan berbakti. Kalimat itu terlontar
ketika aku mempertanyakan banyak hal sembari dielus rambut hitamku yang memerah,
pada sore hari di selasar rumah yang belum berkeramik putih.
sumber gambar: sini
Kompromi
Reviewed by Tomi Azami
on
13:54
Rating:
Saya yang akhirnya dibelikan PS 2 (sebetulnya ada uang sendiri juga hasil nabung dan patungan sama adik, tapi orang tua jelas yang porsinya lebih besar) aja setelah beberapa tahun cukup menyesal, kenapa waktu itu beli PS, bukan laptop? Jadinya tiap ada tugas sekolah kudu ke warnet. Ujungnya PS itu pun optiknya rusak karena jarang dimainkan lagi. Haha.
ReplyDeletePada masanya saya pernah sok idealis banget. Hingga sadar sendiri. Oh, banyak juga ternyata yang perlu dikompromikan dalam hidup. Bahkan ada hal-hal yang perlu dilepas atau direlakan demi prioritas. Sedih asli saat melepas sesuatu dengan komentar, "Ya udah, ikhlasin aja. Yang penting kan blablabla." :')
ZeusBola - Agen Sabung Ayam, Casino, dan Slot
ReplyDeleteMenerima Deposit via Pulsa dan Emoney
Dapatkan Bonus 7x Win Beruntun
Pendaftaran : http://zeusbola1.com
Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
Whatsapp : 0822 7710 4607
Daftar S128 Menggunakan Bank BTPN Jenius